Entah karena
kauterlalu bodoh untuk menilai atau terlalu egois untuk memaklumi. Aku mencoba
sabar, mencoba sabar menghadapimu. Aku berusaha bertahan, berusaha
mempertahankan yang harusnya aku lepaskan. Aku sudah menunggu sangat lama,
mengharap pengertianmu menderas ke arahku. Tapi, hal itu tak kunjung kutemui.
Kamu masih begitu, dengan omonganmu, dengan tingkahmu yang tak berubah.
Apakah kesabaran
dan perjuangan yang kulakukan benar-benar tak terlihat di matamu? Kaumengetahui
segalanya kan? Mengapa hanya diam dan bisumu yang selalu kudapati di hari-hari
kebersamaan kita?
Aku ketakutan dan
kedinginan sendirian. Kamu tak pernah ada di sini saat aku butuhkan. Aku juga
tak paham lagi, pantaskah kebersamaan kita terus aku perjuangkan? Pantaskah
sosokmu selalu kupertahankan? Jika yang kudapatkan hanya pengabaian,
ketidakpedulian dan kebohongan; bagian manakah yang bisa memberi kebahagiaan?
Kamu jauh di sana,
tak banyak yang kaulakukan selain mengirim pesan singkat atau menyapaku dari
ujung telepon. Tak banyak yang bisa kita lakukan selain saling merindukan. Rasa
perih itu semakin membesar, membentuk luka yang mungkin sulit sembuh. Semakin
sering aku tak melihatmu, ketakutanku di sini semakin menebal.
Perlukah aku
membandingkan kamu dengan pria-pria lain yang lebih pandai meluangkan waktunya
untukku, daripada sedikit waktu yang kauluangkan untukku? Kamu tak pernah
peduli pada sakitku, perihku, dan sedihku. Kaubiarkan aku menyelesaikan
segalanya sendirian.
Inikah wujud
kepedulian yang selalu kauributkan denganku? Mana kepedulianmu? Mana
kehadiranmu? Kosong!
Jangan bilang
rindu, jika kautak bisa ke sini untuk buktikan perasaanmu.
Author
: Dwita Sari
Twitter
: @dwitasaridwita
Blog
: http://dwitasarii.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar :)